RADARCIANJUR.com - Obat-obat sirup dan cair dari tiga industri farmasi terbukti menggunakan pelarut obat Propilena Glikol yang tercemar Etilena Glikol dan Dietilena Glikol (EG dan DEG). Hal tersebut menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Kedua cemaran senyawa itu di obat sirup memicu risiko gangguan ginjal akut pada anak. BACA JUGA : Soroti Soal Obat Sirup yang Aman, Pengamat: BPOM Harus Transparan Hasil Ujinya Kepala BPOM Penny K Lukito menegaskan dari hasil penelusuran sampel obat sirup dari Kementerian Kesehatan, BPOM menemukan tiga industri farmasi terbukti menggunakan bahan baku yang tercemar senyawa berbahaya tersebut. Penny menyebutkan ketiga industri itu. “Dari hasil penelusuran, ada dua industri farmasi yakni PT Yarindo Farmatama dengan alamat Serang, Banten, dan PT Universal Pharmaceutical Industries di Medan, Sumatera Utara,” kata Penny kepada wartawan secara virtual, Senin (13/10). “Lalu dari daftar 102 obat yang diberikan Kemenkes, terbaru dari PT Afifarma (di Kediri) melebihi standar. Bahan baku melebihi standar, kami hold dulu sediaan cair. Jadi total ada 3 farmasi,” tegas Penny. Obat tersebut adalah obat cair bernama Flurin produksi PT Yarindo Farmatama. Lalu obat cair atau sirup bernama Unibebi dari PT Universal Pharmaceutical Industries. Dan Paracetamol sirup dari PT Afi Pharma. BACA JUGA : BPOM Rilis 23 Merk Obat Batuk Sirup yang Masih Aman Dikonsumsi “Ketiganya mendapatkan bahan baku yang tercemar EG dan DEG,” tegas Penny. Penny menambahkan penindakan ini merupakan sikap pemerintah bahwa kejahatan obat dan makanan adalah kejahatan kemanusiaan. Ia menyebut kematian anak-anak akibat indikasi obat yang tercemar adalah sesuatu yang menyedihkan. “Gagal ginjal pada anak menelan kematian pada anak. Ada indikasi ada kaitannya disebabkan oleh sumber konsumsi obat sirop anak konsentrasi tinggi EG dan DEG, didapatkan dari pelarut yang digunakan,” jelas Penny. BPOM juga sudah menggandeng Bareskrim Polri untuk melakukan penindakan merespons permasalahan yang ada. Selain menetapkan sanksi administrasi, kata dia, dan juga ada indikasi aspek kejahatan atau pidana. “Kami tindaklanjuti dengan aspek pidana. Pengawasan sampling terbukti bahwa perusahaan atau produsen dengan bahan baku pelarut mengandung pencemar EG dan DEG di atas ambang batas,” ungkap Penny. Hasil pemeriksaan, BPOM menemukan bukti bahwa industri farmasi mengubah bahan baku dan juga melakukan perubahan pada pemasoknya tanpa melalui proses izin perubahan bahan baku. Seharusnya izin perubahan bahan baku harus dilakukan oleh para produsen tersebut. “Apabila perubahan harus melaporkan ke BPOM. BPOM berikan sanksi berupa penghentian produksi, pemusnahan, penarikan. Terjadi pelanggaran sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan seluruh izin edar dari industri dicabut,” katanya. “Kesimpulannya, patut diduga telah terjadi tindak pidana memproduksi dan mengedarkan obat-obatan yang tak memenuhi syarat dan mutu tentang kesehatan. Ancaman pidana paling lama 10 tahun denda Rp 1 miliar. Belum lagi jika ada kaitannya dengan kematian akan ada ancaman lain ya,” katanya.(jwp)